Tampilkan postingan dengan label Pelajaran SMP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pelajaran SMP. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 September 2014

Contoh Teks Pidato Bahasa Jawa



Contoh Pidato Bahasa Jawa

Sering sekali Bimbingan Belajar29 dimintain tolong untuk mencarikan  Contoh Teks Pidato Bahasa Jawa ketika mendekati ujian SMP kelas 9.
Berikut ini Bimbingan Belajar29 membagikannya kembali buat rekan - rekan yang mencari tugas sekolah Contoh Teks Pidato Bahasa Jawa.
Semoga bermanfaat.

Teks Pidato Bahasa Jawa

Assalamu'alaikum wr. wb

Ingkang kinurmatan Bapak Kepala Sekolah ugi Bapak - Ibu Guru ingkang satuhu luhuring budi lan rencang - rencang kelas 9 ingkang kula tresnani.

Monggo kito sedaya ngaturaken puji syukur dhumateng Gusti ingkang maha Agung ingkang sampun maringaken sedoyo nikmat lan kewarasan dateng kito sedoyo dumugi sakmeniko kito sedaya saged kempal wonten ing adicara perpisahan sak manika.
Kula, wakil saking rencang - rencang kelas 9 ngaturaken maturnuwun ingkang sak ageng-agengipun kagem Bapak / Ibu Guru ingkang sampun mbulawantah kulo lan sak konco-konco dateng pawiyatan menika ingkang dangunipun tigang warsa.

Mboten keraos kolo lan rencang sebrayat sampun ngelampahi ngangsu kawruh wonten ing pawiyatan mriki. Wonten ing adicara menika, kulo kiyambak tuhu rencang - rencang nyuwun agenging pangapunten sangking Bapak / Ibu guru amargi wonten ing tigang warso ngangsu kawruh wonten pawiyatan mriki kulo lan sak rencang mebo menawi gadhah kalepatan ingkang dipun sengojo lan mboten disengojo. Mugi - mugi Bapak / Ibu guru kerso ngapuntenaken sedoyo kelepatan kulo lan rencang - rencang.

Satuhunipun kulo lan sak konco awrat sanget badhe nilaraken pawiyatan menika amargi sedoyo ingkang wonten dateng mriko sampun kados sederek lan kaluargo. Namung amargi kulo lan rencang - rencang kedah nglanjutaken ngangsu kawruh wonten ing pawiyatan ingkang luwih inggil, kulo lan rencang - rencang kedah saget dening ikhlas nilaraken pawiyatan menika.

Kadosipun sampun cekap anggenipun kulo matur. Bilih menawi wonten kalepatan kulo nyuwun agenging pangapunten.

Wasslamu'alaikum wr. wb


Read More

Sejarah Kerajaan Kalingga


Prasati Tuk Mas

SEJARAH KERAJAAN KALINGGA
Mengenai keberadaan kerajaan Kalingga sampai saat ini menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada akhirnya. Sebagian orang meyakini bahwa Kerajaan Kalingga berada di India dan sebagian lagi mengatakan ada di Pulau Jawa (Indonesia). Terlepas dari semua itu, yang jelas bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa di Jawa pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Ho-ling (berdasarkan sumber berita Cina) yang bertempat di Cho-po (Jawa). Selain kronik Cina, sumber yang memuat data mengenai keberadaan kerajaan ini adalah Prasasti Tuk Mas. Pendapat bahwa yang dimaksud dengan kerajaan Ho-ling adalah kerajaan Kalingga yang berada di Jawa Tengah dikemukakan oleh Prof. Krom.
Ratu Shima yang Tegas
Berdasarkan sumber dari Dinasti Tang (618 – 908), Kerajaan Ho-ling diperkirakan terletak di Cho-po (Jawa, tepatnya jawa Tengah) dan keberadaannya diperkirakan sudah ada sejak abad ke-6 Masehi. Kronik zaman Dinasti Tang menyebutkan bahwa pada 674 Kerajaan Ho-ling diperintah oleh Ratu Shima (sebagian menulisnya Sima), yang dikenal sebagai raja yang patuh menjalankan hukum kerajaan; bahkan diceritakan, barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Disebutkan bahwa ratu ini seorang pemimpin yang tegas, jujur dan bijaksana, serta melaksanakan hukum dengan tegas. Ketegasannya dalam menerapkan keadilan ditampilkan dengan cara menguji kejujuran rakyat Kanjuruhan. Diceritakan, ada seorang utusan yang datang dari Arab dan menaburkan uang di tengah jalan. Selama hampir tiga tahun tidak ada yang berani mengambil uang tersebut. Suatu hari putra mahkota menyentuh uang tersebut dengan kakinya. Mendengar berita tersebut Ratu sangat marah dan memerintahkan agar putra mahkota dipenggal lehernya. Hukuman penggal leher akhirnya dibatalkan setelah ada permohonan dari para pembesar kerajaan. Menurut para pembesar kerajaan yang menyentuh uang tersebut adalah kakinya, oleh karena itu yang dipotong bukan bukan leher melainkan kakinya. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa raja dan rakyat Kalingga merupakan negara yang taat hukum, yang dipakai sebagai pedoman hidup bagi mereka dalam bernegara dan beragama. Dengan kepatuhan terhadap hukum, kerajaan Kalingga mendapatkan ketentraman dan kemakmuran.
Daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga meliputi 28 wilayah. Menurut Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang menteri, empat orang duduk di pusat kerajaan dan 28 orang lainnya berada di daerah-daerah.

Perutusan ke Negeri Cina
Selanjutnya kronik Dinasti Tang menyebutkan bahwa Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan ke negeri Cina pada 647 sampai 666. Kemudian kerajaan ini mengirim utusan lagi pada 818 dan sesudah itu diberitakan tidak pernah mengirim utusan lagi ke Cina. Pengiriman utusan dari Ho-ling ke Cinta diperkirakan merupakan sebuah bentuk diplomasi antar dua kerajaan. Seperti diketahui bahwa pada abad ke-7 dan seterusnya, dinasti-dinasti Cina senantiasa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Pengiriman duta Ho-ling ke Cina menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara sudah mampu mengarungi samudra dan laut lepas. Kemampuan mengarungi samudra tentunya harus dibekali oleh kemampuan lainnya seperti ilmu pembuatan kapal, ilmu perbintangan atau astronomi, cara mengawetkan makanan, dan lain-lain. Hal ini menjadi bekal kuat bagi orang-orang Nusantara untuk menjalin aktivitas ekonomi dan menggalang kekuatan politik dengan bangsa atau kerajaan lain di seberang laut.

Pendeta Buddha Jnanabhadra
Berita dari seorang pendeta Buddha dari Cina bernama I-Tsing menyatakan bahwa pada 664 seorang bernama Hwi-ning datang ke Ho-ling dan tinggal di tempat itu selama tiga tahun (664-667). Dengan bantuan seorang pendeta Ho-ling yang bernama Yoh-na-po-t’o-lo (kemungkinnan besar pelafalan Cina untuk Jnanabhadra) ia menerjemahkan kitab suci Buddha Hinayana. Nama Jnanabhadra sendiri berasal dari sebuah prasasti bertarikh 650 Masehi yang ditulis dengan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, ditemukan di Tuk Mas di Desa Dakawu (kini termasuk Grabag, Magelang) di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Isi prasasti adalah pujian kepada mata air yang keluar dari gunung yang menjadikan sebuah sungai bagaikan Sungai Gangga. Di atas tulisan prasasti tersebut dipahatkan gambar leksana dan alat-alat upacara berupa cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, dolmas, stap, dan empat bunga fatma. Benda-benda ini jelas merupakan sembahan penganut Siwa. Berikut terjelamahan prasasti tersebut:
Mata air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunga tanjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Sesudah menjadi suatu kemungkinan mengalir seperti sungai Gangga.

Kehidupan Masyarakat
Kronik Dinasti Tang memberitakan bahwa daerah yang disebut Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Penduduk membuat benteng-benteng dari kayu dan rumah mereka beratap daun kelapa. Mereka sudah pandai membuat minuman dari air bunga kelapa (mungkin tuak). Bila makan mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan menggunakan tangan.
Keberadaan kerajaan Kalingga tentunya tidak akan terlepas dari keberadaan Ratu Shima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Dalam memerintah Ratu Sima digambarkan sebagai pemimpin yang “keras” demi menjalankan hukum kerajaan. Kerajaannya dikelilingi oleh pagar kayu. Tempat tinggal raja berupa rumah tingkat yang beratap, tempat duduk raja berupa paterana gading.

Sumber Bacaan
Moehadi. 1986. Modul Sejarah Indonesia. Karunia: Jakarta.
Marwati, dkk. 1993 . Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.


Read More

Sabtu, 06 September 2014

Sinopsis Novel Salah Asuhan - Abdul Moeis


Sinopsis Novel Salah Asuhan

A. Sinopsis Dari Novel Salah Asuhan Yang Dikarang Oleh Abdul Moeis
Salah Asuhan
Corrie de Bussee, gadis Indo-Belanda yang cantik, lincah dan menjadi dambaan setiap pria yang mengenalnya. Corrie berteman dengan Hanafi dari sejak kecil. Hanafi sendiri adalah laki-laki muda asli Minangkabau, berpendidikan tinggi dan berpandangan kebarat-baratan. Bahkan cenderung memandang rendah bangsanya sendiri. Karena selalu bersama-sama akhirnya mereka satu sama lain saling mencintai. Tapi cinta mereka itu tidak dapat disatukan karena perbedaan bangsa, jika orang Bumiputera menikah dengan keturunan Belanda maka tidak diperbolehkan, yang akhirnya apabila kejadian sampai menikah mereka akan dijauhi oleh para keluarganya dan orang lain. Corrie pun akhirnya pergi yang tadinya tinggal di Minangkabau menjadi di Betawi. Perpindahan itu sengaja ia lakukan untuk menghindar dari Hanafi dan meneruskan sekolahnya di sana.
Akhirnya ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah. Rapiah adalah sepupu Hanafi, gadis Minangkabau sederhana yang berperangai halus, taat pada tradisi dan adat sukunya. Ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah yaitu untuk membalas budi pada ayah Rapiah yaitu Sutan Batuah yang telah membantu membiayai sekolah Hanafi. Tapi Hanafi awalnya tidak mau karena cintanya hanya untuk Corrie saja. Tapi akhirnya dengan bujukan ibunya walaupun terpaksa ia menikah juga dengan Rapiah. Karena Rapiah tidak Hanafi cintai keberadaan Rapiah pun di rumah hanya diperlakukan seperti babu, mungkin Hanafi juga menganggap bahwa Rapiah itu seperti tidak ada apabila banyak temannya orang Belanda yang datang ke rumahnya. Hanafi dan Rapiah dikarunia seorang anak laki-laki yaitu Syafei.
Suatu hari Hanafi digigit anjing gila, maka dia harus berobat ke Betawi agar sembuh. Di Betawi Hanafi dipertemukan kembali dengan Corrie. Di Betawi, Hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim surat pada ibunya bahwa dia menceraikan Rapiah. Ibu Hanafi dan Rapiah pun sangat sedih tetapi walaupun Hanafi seperti itu Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal dengan Ibu Hanafi. Perkawinannya dengan Corrie ternyata tidak bahagia, sampai-sampai Corrie dituduh suka melayani laki-laki lain oleh Hanafi. Akhirnya Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju Semarang. Corrie sakit Kholera dan meninggal dunia. Hanafi sangat menyesal telah menyakiti hati Corrie dan sangat sedih atas kematian Corrie, Hanafi pun pulang kembali ke kampung halamannya dan menemui ibunya, Hanafi pekerjaannya hanya termenung saja dan tidak terlalu bergairah. Hanafi sakit, kata dokter dia minum sublimat dan akhirnya dia meninggal dunia.

B. Kutipan Bagian yang Menarik

1. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian I yaitu Dua orang Sahabat
"Itu benar, Han ! Tapi pada segala pekerjaan ada batasnya. Maka adalah pekerjaan atau perbuatan yang luar biasa, yang tiada galib dilakukan orang, sedang pekerjaan yang disangka tidak mengganggu kesenangan orang lain itu pun boleh jadi akan melanggar peri kesopanan."
"Kesopanan ? Apakah perbuatan kita, duduk berhadapan antara satu meter jaraknya, dibatasi oleh meja teh, di tempat terang dan pada waktu yang lazim dipergunakan orang buat berkunjung-kunjungan, boleh dikatakan melanggar peri kesopanan ?"
"Tidak, hanya … engkau bujang, aku gadis, sesama manusia kita telah menetapkan pelbagai undang-undang yang tidak tersurat, tapi yang harus diturut oleh sekalian manusia dengan tertib, kalau ia hendak hidup aman di dalam pergaulan orang, yang memakai undang-undang itu."
"Ah, undang-undang itu, di manakah batasnya ? Bangsamu, bangsa Eropa, amat melonggarkan pergaulan laki-laki dengan perempuan, Nyonya yang bersuami sudah galib dibawa-bawa dan dikepit oleh seorang tuan lain, dengan tidak ada undang-undang tersurat atau tidak tersurat yang melarangnya. Itu tentang pergaulan. Ambillah pula contoh yang lain. Di tanah Arab perempuan menutup badan sampai ke muka-muka, tapi di tanah Amerika banyak benar kota-kota ramai di pantai laut, tempat nyonya dan tuan-tuan berkeliaran saja memakai baju renang, sampai ke rumah-rumah minum. Tetapi lihatlah pula setengah bangsa Barat—jika nyonya rumah berani turun tanah memakai baju piyama, yang nyata lebih menutup kulit dari pakaian dansa maka nyonya yang berpakaian piyama turun ke tanah itu akan disebutkan 'melanggar adat sopan santun'. Jadi bagiku, sungguhlah gelap batas undang-undang kesopanan itu—sebab ia tidak tersurat."
"Hanafi ! Engkau juga yang mulai memperbincangkan tentang adat lembaga serta tertib kesopanan masing-masing bangsa; engkau pun juga yang tak suka mengindahkan atau mengakui adanya perbedaan adat lembaga antara bangsa dengan bangsa. Setiap kita bertukar pikiran tentang hal itu, pada akhirnya engkau senantiasa berkecil hati seolah-olah malulah engkau, bahwa engkau masuk golongan Bumiputera, yang kau sangka bahwa aku menghinakannya. Bahwa sesungguhnya kulitku berwarna pula, ibuku perempuan Bumiputera sejati, meskipun diriku masuk pada golongan bangsa Eropa. Dan sementara … fasal hina-menghina Bumiputera lebih banyak terdengar dari mulutmu sendiri daripada dari mulutku. Kita akan memperkatakan …"
"Aku tahu betul, bahwa aku hanyalah Bumiputera saja, Corrie ! Janganlah kau ulang-ulang juga."
"Hanafi, Hanafi ! Hari ini fiilmu sangat pula susahnya. Kalau sifat dan hatimu kurang-kurang kukenal, niscaya akan boleh timbul salah persangkaan atas dirimu. Jadi fiil tabiatmu sudah jelas benar bagiku. Tenangkanlah dahulu darahmu; dengarkan baik-baik. Kita akan memperkatakan hal adat lembaga masing-masing yang digalihkan atau hendak diubah oleh bangsa-bangsa lain di luar kita, karena di negeri mereka masing-masing perkara itu memang sedang menjadi buah perselisihan. Apakah gunanya kita turut-turut memusingkan kepala ? Aku tahu buat diriku sendiri, meskipun esok atau lusa di kota Solok ini sudah lazim berjalan berkeliaran memakai baju renang, aku sendiri tidak akan menyertai arus 'mode' yang serupa itu. Tidak, Hanafi –yang menjadi pertikaian tutur bagi kita ialah hal adat lembaga sesuatu bangsa di dalam pergaulannya'. Dalam pergaulan bangsaku, bangsa Eropa, sungguh longgarlah pergaulan antara laki-laki dengan perempuan, sebagai kaukatakan tadi. Tapi sebab sudah 'galib', tidaklah akan cepat orang berbuat fitnah atau menyangka buruk, apabila kelihatan laki-laki bergaul dengan perempuan lain, yang bukan ahli karibnya. Tetapi dalam pergaulan bangsamu, apabila di tanah Sumatra ini, lain keadaannya. Jangankan dengan perempuan lain, dengan ahlinya yang paling karib, sekalipun dengan adik atau kakaknya sendiri, sudah disebut janggal, apabila ia bergaul atau duduk bersenda gurau, bahkan berjalan berdua-dua.

2. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian II yaitu Ayah dan Anak
"Kawin campuran itu sesunguhnya banyak benar rintangannya, yang ditimbulkan oleh manusia juga Corrie ! Karena masing-masing manusia dihinggapi oleh suatu penyakit kesombongan bangsa. Sekalian orang, masing-masing dengan perasaannya sendiri, menyalahi akan bangsanya, yang menghubungkan hidup kepada bangsa yang lain, meskipun kedua orang menjadi suami-istri itu sangat berkasih-kasihan.
Tapi-asal kedua yang dikatakan "berkesalahan" itu sama-sama meneguhkan hatinya, tiadalah akan mengenai pada dirinya segala nista dan cerca orang lain itu. Lihat sajalah keadaanku dengan namamu. Bangsa dan kaum kerabatnya sekali-kali tidak suka ia hidup bersama dengan aku, pun bangsaku menyalahi benar akan perbuatanku itu. Tapi aku, demikian pula namamu, tiadalah kawin dengan orang banyak itu tidak pula kami bergantung kehidupan pada mereka sekalian. Jadi segala bantuan mereka tidaklah mengurangi kesenangan kami. Hanya jarang-jarang yang bertemu demikian, Corrie!"
"Hal Papa dengan Mama, sungguh lain. Papa laki-laki orang Barat, Mama perempuan orang sini. Sesungguhnya Corrie tidaklah dapat memberi keterangan tentang hal itu, tapi Corrie berasa saja, bahwa lain benar keadaan hal pencampuran laki-laki Barat dan perempuan Timur dengan sebaliknya."
"Perbedaan itu sungguh ada, Corrie, dan sungguh besar sekali. Sebabnya tiada lain, karena penyakit "kesombongan bangsa" itu juga. Orang Barat datang ke mari, dengan pengetahuan dan perasaan, bahwa ialah yang dipertuan bagi orang sini. Jika ia datang ke negeri ini dengan tidak membawa nyonya sebangsa dengan dia, tidak dipandang terlalu hina, bila ia mengambil "nyai" dari sini. Jika "nyai" itu nanti beranak, pada pemandangan orang Barat itu sudahlah ia berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan darah di sini. Tapi lain sekali keadaannya pada pertimbangan orang Barat itu, kalau seseorang nyonya Barat sampai bersuami, bahkan beranak dengan orang sini. Terlebih dahulu nyonya itu dipandang seolah-olah sudah menghinakan dirinya sebagai bangsa Barat; dan dikatakan sudah "membuang diri kepada orang sini. Di dalam undang-undang negeri ia pun segera dikeluarkan dari hak orang Eropa. Itu saja sudah tidak dengan sepatutnya, istimewa pula bila diketahui, bahwa seorang bangsa Bumiputra yang minta dipersamakan haknya dengan Eropa selama-lamanya tidak boleh menghilangkan lagi hak itu dan kembali menjadi Bumiputra pula, karena tidaklah ada sesuatu fasal di dalam undang-undang yang boleh menggugurkan haknya sebagai orang Eropa. Tapi seseorang perempuan bangsa Eropa yang kawin dengan orang Bumiputra, selama ditangan suaminya itu akan kehilangan haknya sebagai orang Eropa. Terlebih hina kedudukannya di dalam pergaulan bangsa Eropa sendiri, jika nyonya itu sampai beranak, dipandang bahwa ia turut mengurangi derajat bangsa Eropa. Terasalah olehmu, Corrie, perbedaan antara kedua perkawinan itu ?"

3. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian III yaitu Ibu dan Anak
"Ingatlah, Anakku! Harapkan burung terbang tinggi, punai tangan engkau lepaskan. Tidak akan aman hidupmu, bila makanan enggang dan bunga larangan yang engkau kehendaki. Sesayang-sayangnya pada engkau, kaum keluargamu tentu tidak akan dibawanya duduk bersama-sama. Yang hendak ibu berikan buat gantinya, ialah anak ibu sendiri yang akan insyaf betul bahwa ia kelak akan menumpangkan diri padamu. Sedang yang engkau kehendaki ialah orang yang akan menaruh keyakinan, bahwa ia sudah membuang diri buat menurutkan kamu. Orang itu berasa berpemberian yang sebesar-besarnya kepadamu, yang harus kau junjung tinggi. Lebih dahulu engkau dipandangnya ada berutang budi kepadanya, yang tidak ternilai besarnya. Tapi yang ibu sediakan bagimu, ialah yang akan berasa sendiri ada berutang budi kepadamu. Tidaklah ia berasa, bahwa dirinya sudah diperganduh-ganduhkan buat membayar utangmu pada ayahnya, karena secara adat Minangkabau yang diketahuinya ialah engkau yang harus menerima pusaka ayahnya, dan bukanlah dia, yang akan diketahuinya pula ialah bahwa engkau sudah menunjukkan murah hatimu, suka menerima dia yang bodoh serta hina menjadi istrinya. Pada hemat ibu, hanya perkawinan yang secara itulah yang akan menyenangkan hidupmu, teristimewa karena ketinggian hatimu. Pantang kelintasan, pantang ketindihan oleh kata. Asal engkau pandai membalas budi dengan budi, selamatlah engkau seumur hidupmu. Setiap hari engkau berkata bahwa ibumu orang kampung, orang bodoh, tapi timbang-timbanglah segala kata-kata ibu dengan hati yang jernih, pikiran yang tenang, uji-ujilah salah-benarnya."

4. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian VIII yaitu Istri Pemberian Ibu
Dua tahun sudah berjalan, setelah jadi perundingan Hanafi dengan ibunya tentang beristri itu. Sebelum ia membenarkan kata ibunya, ia pun sudah dinikahkan dengan Rapiah.
Di dalam peralatan itu hampir-hampir pernikahan dibatalkan, karena timbul perselisihan antara pihak kaum perempuan dengan kaum laki-laki.
Pangkalnya dari Hanafi juga. Ia berkata "kaum muda", yaitu pakaian secara zaman dahulu, disebutkan "anak komidi Stambul". Jika ia dipaksa memakai secara itu, sukalah ia urung saja, demikian katanya dengan pendek. Setelah timbul pertengkaran di dalam keluarga pihaknya sendiri akhirnya diterimalah, bahwa ia memakai 'smoking' yaitu jas hitam, celana hitam dengan berompi dan berdasi putih. Tapi waktu hendak menutup kepalanya sudah beselisih pula. Dengan kekerasan ia menolak pakaian destar saluk, yaitu pakaian orang Minangkabau. Bertangisan sekalian perempuan, meminta supaya ia jangan menolak tanda Keminangkabauan yang satu itu, yaitu selama beralat saja. Jika peralatan sudah selesai, bolehlah ia memakai sekehendak hatinya pula.
Hanafi tetap menolak kehendak orang, ia tidak hendak menutup kepala, karena lebih gila pula dari komidi, bila memakai destar, saluk dengan baju smoking dan dasi.
Setelah ibunya sendiri hilang sabarnya dan memukul-mukul dada di muka anak yang 'terpelajar itu, barulah Hanafi menurutkan kehendak orang banyak, sambil mengeluh dan teringat akan badannya yang sudah … 'tergadai'.
Untunglah ia menurutkan hal menutup kepala itu, karena sekalian pengantar dan pasumandan (pengiring bangsa perempuan), sudah berkata bahwa mereka tak sudi mengiringkan 'mempelai didong'.
Dalam dua tahun hidup beristri itu, Rapiah dipandangnya sebagai seorang istri yang diberikan kepadanya. Segala kewajiban sebagai suami adalah diturutnya, demikian ia berkata, tapi akan batinnya Rapiah tidak berhak. Leif de, synpatie dan lain-lain lagi perkataan yang menyeramkan bulu tengkuk ibunya, tentu Rapiah tidak boleh mengharap daripadanya. Demikian pula tentang kemerdekaannya.

5. Kutipan bagian menarik dari judul bagian IX yaitu Durhaka kepada Ibu
Kemarahan Hanafi kepada anaknya, yang katanya sudah dimasuki setan dan kepada si Buyung yang masih belum datang, serta malunya kepada kawan-kawannya melihat istrinya datang, yang tidak ubah rupanya dengan hoki, kesemuanya sudah tertumpah ke atas kepala Rapiah.
Sambil merentakkan anak itu ke tangan ibunya, dikatainyalah istrinya di muka kawan-kawannya dengan segala nista dan penghinaan, hingga ketiga tamu itu menjadi resah dan tidak berketentuan rasa lagi.
Rapiah tunduk, tidak menyahut, hanya air matanya saja yang berhamburan. Syafei, dalam dukungan ibunya yang tadinya menangis keras, lalu mengganti tangisnya dengan beriba-iba. Seakan-akan tahulah anak kecil itu, bahwa ibunya yang tidak berdaya, sedang menempuh azab dunia dan menanggung aib di muka-muka orang.
Sedang Rapiah berjalan gontai menuju ke dapur sambil menundukkan kepala, seolah-olah sedang bertangis-tangisan dengan anaknya, si suami celaka masih mengiringkannya dengan kata-kata yang sudah tak layak didengar lagi.
Pada waktu itu Ibu Hanafi sedang di tengah rumah pula, jadi mendengar dan melihatlah ia apa yang sedang terjadi. Sesampainya ke dapur pula, lalu dipeluk dan ditangisinyalah menantu dan cucunya yang malang itu. Maka ketika itu di dalam dapur tiadalah lain yang terdengar, hanyalah keluh kesah dan tangis ketiga mereka itu saja.

6. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian XII yaitu istri pemberian ibunya
"Jangan kau sebut jual hal ke Betawi itu, Piah. Memang sebaik-baiknya kami bercerai-berai, sia-sia jualah bila berkumpul-kumpul. Bagaimana akan dapat minyak dibaurkan dengan air ? Memang ia anak yang kukandung, kulahirkan sendri! Darah dagingku sendiri, Piah ! Tapi apa boleh buat ! Entah karena salah asuhan entah karena salah campuran, tapi anak itu sangat mengasingkan hidupnya. Berlain pemandangannya dengan kita, berlain pendapatnya, berlain perasaannya. Ya – Piah ! Tak dapatlah ibu menyangkakan kepecahan telur sebutir hal kehilangan anak itu, karena ia hanya seorang itu saja dan tidak pula berayah. Yang kandung benar saudara ibu, hanyalah ayahmu, seibu sebapa dengan ibu, Piah, itulah sebabnya maka ibu berkeras menahan engkau. Ibu seperuntungan dengan ayahmu sama-sama tunggal, karena turunan kita memang jarang.

7. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian XIX yaitu Mertua dan Menantu
"Kepada ibu pastilah engkau tidak akan durhaka, karena didalam sesuatu hal ibu akan membenarkan saja segala sesuatu yang hendak engkau lakukan, teristimewa pula didalam hal ini. Hanya ayahmu tentu tidak akan ijin, jadi nyatalah engkau akan melakukan sesuatu buatan yang tidak direlakan ayahmu. Durhaka kepada ayah dan ibu itu berat benar tanggungannya, Piah, Berat buat di dunia, berat pula buat di akhirat."

8. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian XXI yaitu Tali Percintaan
Tahulah Hanafi sekarang; Rapiah, intan yang belum digosok. Sayang, ia tak pandai menggosoknya hingga barang yang berharga itu dibuang-buang, disangkanya tidak berharga.
Corrie berlian yang sudah digosok, harganya tidak ternilai-nilai, tapi si suami yang celaka tak pandai memakainya dan enyahlah harta itu dari kandungannya. Hanafi menyesali dirinya tidak berhingga-hingga.

9. Kutipan yang menarik dari cerita bagian XXIV yaitu di Jalan Hendak Pulang
"Tuan Han, bagi Tuan amat melarat, jika berkata-kata panjang. Baiklah Tuan mendengarkan saja apa yang hendak saya tuturkan, sebagai dokter dan sebagai manusia. Kita berhadapan sebagai orang yang sama-sama terpelajar, sopan, muda dan sudah tentu sama-sama pula mengetahui dan menderita akan arti cinta. Dengarlah ! sepanjang pendapat saja, cinta itu akan berbukti benar, bila yang menaruhnya tahu menaruh sabar, tahu menegakkan kepalanya di dalam segala rupa bahaya serta rintangannya. Cinta itu tahu memberi korban, jika perlu.

C. Unsur Instrinsik dari Novel Salah Asuhan

1. Tema
Adapun tema yang terkandung dalam novel Salah Asuhan karangan Abdoel Moeis adalah adat istiadat.

2. Amanat
Adapun amanat yang terkandung dalam novel Salah Asuhan adalah :
1) Janganlah melupakan adat istiadat negeri sendiri, jikalau ada adat istiadat dari bangsa lain, boleh saja kita menerima tapi harus pandai memilih, yaitu pilihlah adat yang layak dan baik kita terima di negeri kita.
2) Jangan memaksakan suatu pernikahan yang tidak pernah diinginkan oleh pengantin tersebut, karena akhirnya akan saling menyiksa keduanya.

3. Alur
Alur yang digunakan dalam novel Salah Asuhan adalah alur maju.

4. Tokoh
1) Hanafi, wataknya egois, keras kepala
2) Corrie, wataknya baik, mudah bergaul
3) Rapiah, wataknya sabar, lembut
4) Ibu Hanafi, wataknya sabar
5) Tuan Du Busse, wataknya tegas dan keras
6) Sutan Batuah, wataknya tegas dan keras
7) Syafei, wataknya berani
8) Si Buyung wataknya penurut

5. Latar
Latar atau tempat terjadinya yaitu :
1) Lapangan tenis di Minangkabau
2) Rumah Corrie dan rumah Hanafi di Minangkabau
3) Betawi
4) Semarang

6. Sudut Pandang
Dalam novel Salah Asuhan Abdoel Moeis ini, pengarang bertindak sebagai orang ketiga yaitu menceritakan kehidupan tokoh-tokoh pada novel tersebut.

7. Gaya Penulisan
Gaya penulisan dari novel ini apabila dilihat dari segi bahasa adalah bahasa Melayu dan ada juga diselipkan bahasa Belanda. Dalam penulisannya terdapat pantun dan sedikit pribahasa.



Read More

Jumat, 05 September 2014

Sinopsis Novel Siti Nurbaya



Sinopsis Novel Siti Nurbaya

Sinopsis Novel Siti Nurbaya

Pengarang          : Marah Rusli
Penerbit             : Balai Pustaka
Tempat Terbit    : Jakarta
Tebal                 : 271 halaman
Pelaku                : Siti Nurbaya, Samsulbahri, Datuk Maringgih, Baginda Sulaiman, dan  Sultan Mahmud.

Sinopsis
Seorang penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmudsyah dengan isterinya, Siti Mariam yang berasal dari orang kebanyakan mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang bernama Syamsul Bahri. Rumah Sutan Mahmudsyah dekat dengan rumah seorang saudagar bernama Baginda Sulaeman. Baginda Sulaeman yang mempunyai seorang anak perempuan tunggal bernama Siti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti kakak dengan adik saja.
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti Nurbaya ke gunung Padang bersama-sama dua orang temannya, yakni Zainularifin, anak seorang jaksa kepala di Padang yang bernama Zainularifin akan melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Sedang Bahtiar melanjutkan ke Sekolah Opzicther (KWS) di Jakarta pula. Syamsul Bahri pun akan melanjutkan ke Sekolah Dokter tersebut. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah Syamsul Bahri menyatakan cintanya kepada Siti Nurbaya dan mendapat balasan. Sejak itulah mereka itu mengadakan perjanjian akan sehidup semati.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Sekolahnya menjadi satu dengan Zainularifin.
Di Padang ada seorang orang kaya bernama Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatnya dengan cara tidak halal. Untuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga, Pendekar empat, dan Pendekar Lima.
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko Baginda Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkannya.
Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang pinjaman itu ia masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak dapat membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.Karena Baginda Sulaeman tak dapat membayar utangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali jika Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun sebenarnya hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di Jakarta.
Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke Padang. Setelah menjumpai orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sakit. Sesampainya ke tempat yang dituju, dijumpainya Baginda Sulaeman sedang terbaring karena sakit. Tak lama setelah kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya karena ayahnya mengharapkan kedatangan. Maka berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya. Beberapa hari kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya, pertemuan itu terjadi pada malam hari. Kedua asyik masyuk itu tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki tangannya. Karena tak tahan mereka itu menahan rindunya maka merekapun berciuman. Pada waktu itulah Datuk Maringgih mendapatkan mereka dan terjadilah percekcokan, karena mendengar kata-kata yang pedas dari Syamsul Bahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Syamsul Bahri. Tetapi karena Syamsul Bahri menghindarkan dirinya diambil menyeret Siti Nurbaya, maka pukulan datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya. Akibatnya tersungkurlah Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri menendangnya, dan karena kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan Datuk Maringgih itulah maka pada saat itu juga keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Siti Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit itu, karena disangkanya Siti Nurbaya mendapat kecelakaan maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke tempat anaknya itu. Tetapi karena kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga seketika itu juga Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung Padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Syamsul Bahri, menghindarlah Syamsul Bahri ke samping. Dan pada saat itu juga ia berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya terlepas. Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Siti Nurbaya tadi. Melihat mereka datang, larilah Pendekar Lima menyelinap ke tempat yang gelap.
Di para tetangga yang datang itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang soal anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan Mahmud Syah tanpa dipikirkan masak-masak lebih dulu lagi. Pada malam hari itu juga secara diam-diam pergilah Syamsul Bahri ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Siti Mariam mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya di sana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah Siti Maryam ke rumah saudaranya di Padangpanjang. Di sana karena rasa kepedihannya itu, ia menjadi sakit-sakit saja.
Sejak kematian ayahnya, Siti Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia berani mengusir Datuk Maringgih dan tak mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia berusaha hendak membunuh Siti Nurbaya.
Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu Siti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya yang bernama Alimah. Di rumah itulah Siti Nurbaya mendapat petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Siti Nurbaya dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta, berkumpul dengan Syamsul Bahri. Penunjuk dan nasihat Alimah sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan diputuskannya, akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sultan Mahmud Syah sejak pengusiaran diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada Syamsul Bahri pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Siti Nurbaya, karena percakapannya dengan Alimah tersebut dapat didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi sekat Kapten kapal maka berkatalah Pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi pula.
Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar, pergilah Pendekar Lima mencari tempat Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati Siti Nurbaya, iapun segera menyeret Siti Nurbaya hendak membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu Pak Ali membelanya, tetapi iapun mendapat pukulan Pendekar Lima dan tak mampu melawannya karena Pendekar Lima jauh lebih kuat daripadanya. Siti Nurbaya pun berteriak sekuat-kuatnya sampai ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh orang-orang yang ada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketehuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya. Siti Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Syamsul Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali tentang peristiwa yang terjadi atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Syamsul Bahri ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan payah.
Pada saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah berjumpa dengan Kapten kapal dan Syamsul Bahri, diberitahukan kepada mereka itu bahwa kedatangannya mencari Siti Nurbaya itu ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Siti Nurbaya telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar orang itu di tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri bahwa hal itu tidak lain akal busuk Datuk Maringgih belaka. Ia pun minta kepada Polisi itu agar hal tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang menghawatirakan itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu dirawat dulu di Jakarta sampai sembuh sebelun kembali ke Padang. Permintaan Syamsul Bahri itu dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya. Kabar itu diterima oleh Siri Nurbayadengan senang hati. Ia bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang di dakwakan atas dirinya. Setelah permintaan Syamsul Bahri kepada yang berwajib agar perkara kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan, berangkatlah Siti Nurbaya ke Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang ternyata bahwa Siti Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan atas dirinya itu. Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah
Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli kue yang dijajakan oleh Pendekar Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Siti Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjaja kue itu pergi, Siti Nurbaya makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya pening. Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak itu, terkejutlah ibu Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Kedua jenajah itu dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya itu juga dikawatkan kepada Syamsul Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya ia menulis surat kepada guru dan kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta dari berpisah untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak mengetehuinya. Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah dengan Zainularifin sengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zainularifin memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia menikuti gerak-gerik sahabatnya itu, karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada suatu tempat di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya dan kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Zainularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang berwajib agar berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan setelah itu Syamsul Bahri berhenti sekolah. Karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana. Karena keberaniannya, makan dalam waktu sepuluh tahun saja pangkat Syamsul Bahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakkan mengenai masalah balasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke makam ibu dan kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya. Tetapi sebelum meninggal Datuk Maringgih masih sempat membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah di atas timbunan mayat, dan yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya agar dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena dikatakannya ada masalah yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan sekarang berada di Padang untuk memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena luka-luka yang dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Syamsul Bahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul Bahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dinamakanlah jenazah Letnan Mas atau Syamsul Bahri itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya seperti yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, karena sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud Syah beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam dan Sutan Mahmud Syah.
Beberapa bulan kemudian berziarahlah Zainularifin dan Baktiar telah lulus dalam ujiannya sehingga masing-masing telah menjadi dokter san opzichter.
Kutipan
“Arifin, aku belum menceritakan penglihatanku tadi malam, kepadamu, bukan?” kata Syamsul Bahri kepada sahabatnya, pada keesokan harinya daripada malam Nurbaya kena racun, kira-kira pukul dua siang, tatkala mereka itu pulang dari rumah tempatnya membayar makan.
“Penglihatan apa, Sam?” tanya Arifin.
“Ajaib benar! Sampai kepada waktu ini belum habis kupikirkan, karena belum juga kuketahui, apa itu dan apa maksudnya?”
“Cobalah ceritakan,” kata Arifin pula.
“Sebagai biasa,” kata Samsu,” pukul sepuluh malam, pergilah aku tidur. Kira-kira pukul dua belas, dengan tiada kuketahui apa sebabnya, tiba-tiba terbangunlah aku dengan terperanjat, seperti apa yang membangunkan. Tatkala kubuka mataku, kelihatan olehku dekat meja tulisku, sesuatu bayang-bayang putih, berdiri di belakang kursiku. Sangatlah terperanjat aku, ketika melihat bayang-bayang itu, sebab pada sangkaku, ia pencuri atau penjahat yang telah masuk ke dalam bilikku,”
“Tetapi kalau pencuri atau penjahat, mengapakah berpakaian putih?” kata Arifin.
“Itulah sebabnya maka terpikir pula olehku, barangkali aku bermimpi; lalu kupijitlah pahaku, beberapa kali. Akan tetapi, tatkala telah nyata benar kepadaku, bahwa aku tiada tidur lagi, barang yang putih itu masih kelihatan juga.”
“Barangkali pemandangan tiada benar,” kata Arifin, yang belum hendak percaya hendak hilang.”
“Oleh sebab itu, kugosoklah mataku beberapa lamanya; tetapi yang putih itu tek hendak hilang.”
“Barangkali engkau takut atau tatkala hendak tidur, banyak mengingat perkara setan dan hantu; jadi segala yang kau lihat, rupanya sebagai setan,” sehut Arifin pula.
“Engkau tahu sendiri, Arifin, aku tiada penakut kepada segala yang demikian. Lagipula, tatkala baru saja kubuka mataku, telah kelihatan bayang-bayang yang putih itu olehku. Betapa orang yang baru bangun tidur akan takut, jika tiada bermimpi yang dahsyat!”
“Bagaimana bentuknya?” tanya Arifin, yang rupanya mulai percaya akan cerita Samsu ini.
“Sebagai manusia, berkepala, berbadan, bertangan, dan berkaki,” sahut Samsu,” serta memakai pakaian sutra putih yang jarang.”
“Sebagai manusia?” tanya Arifin yang mulai merasa takut, walaupun hari pada waktu itu pukul dua siang dan orang penuh di jalan besar, “Hih! Seram buluku mendengar ceritamu.”
“Sesungguhnya,” jawab Samsu. “Melihat hal yang ajaib ini, meskipun berapa beraniku, berdebar juga hatiku dan sejurus lamanya, tidaklah tahu aku, apa yang hendak kuperbuat. Hendak berteriak, malu rasanya. Lagipula suaraku tak hendak keluar, sebagai dicekik orang. Hendak berdiri, badan dan kaki berat rasanya. Dibiarkan saja, takut kalau-kalau dianiaya aku. Walaupun kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan punggungku sebagai terkena air dingin.”
“Sudah itu?” tanya Arifin, yang makin bertambah-tambah takut.
“Tatkala kuamat-amati benar bayang-bayang yang putih itu, kelihatanlah mukanya seperti muka Nurbaya.”
“Nurbaya?” tanya Arifin dengan heran.
“Ya, tak ada ubahnya; hanya wajah mukanya pucat sedikit. Sebab itu meskipun hatiku masih khawatir, dapatkah juga kuberanikan diriku, akan mengeluarkan perkataanku, lalu bertanya,” Siapa ini?”
“Dan apa jawabnya?” tanya Arifin dengan lekas.
“Tak apa-apa. Ia diam saja dan tidak pula bergerak-bergerak dari tempatnya.”
“Kemudian?” tanya Arifin pula.
“Kemudian melompatlah aku, hendak mengambil pistolku dari dalam lemari dan sudah itu, hendak kudekati dia. Tetapi tatkala itu juga hilanglah bayang-bayang itu; entah kemana perginya tiada kuketahui.”
“Betul berani engkau,” kata Arifin.
“Tatkala itu datanglah takutku dan menolehlah aku ke segenap tempat kalau-kalau dicekiknya aku dari belakang. Tatapi tak kelihatan suatu apa lagi. Lalu kupasanglah lampu dan kuambil pistolku dari dalam lemari. Ketika itu barulah berani aku memaksa aku kesana kemari, ke bawah tempat tidur, ke bawah mwja dan ke belakang lemari, tetapi suatu pun tiada kelihatan, sedang jendela dan pintu pun masih terkunci.”
“Jika aku bertemu yang denikian, tentulah aku menjerit minta tolong, kalau masih dapat, berteriak. Kalau tidak tentulah aku akan kaku di sana juga, karena ketakutan.”
“Setelah kututup lampu itu dengan keras, supaia terangnya jangan kelihatan dari luar dan kutaruh pistolku dibawah bantalku, berbaringlah aku. Tetapi sesudah itu tiadalah aku dapat tidur lagi; pertama karena takut akan didatanginya kembali dalam tidurku, kedua memikirkan penglihatan yang ajaib itu. Apakah itu adalah takdir! Itulah setan atau hantu!”
“Tetapi kalau hantu, mengapakah rupanya serupa dengan Nurbaya? Yang menjadi hantu itu, bukankah kata orang yang sudah mati, kata orang?” jawab Arifin.
“Sesungguhnya, seumur hidupku, baru kali itu aku melihat bayang-bayang yang demikian,” jawab Samsu, yang sekali-kali tiada mengira, bahwa Nurbaya talah mati.”Bukan mimpi tetapi sebenar-benarnya penglihatan itu.”
“Sungguh ajaib penglihatanmu itu. Tetapi kuharap janganlah aku sampai bertemu dengan penglihatan yang serupa itu; takut dapat celaka.”
“Karena tak dapat tidur lagi, terkenanglah aku akan Nurbaya dan Ibuku. Negri dan kampung halamanku kita, serta timbulah hasrat yang amat dalam hatiku, hendak pulang meneui mereka sekalian dan menyesallah aku, tiada dapat pergi mengantarkan Nurbaya pulang ke Padang, baru-baru ini. Belun pernah keinginan hatiku hendak pulang sekeras tadi malam. Dimukaku terbayang pula segala kesukaan dan kesusahan, yang telah kurasai, sejak kita berjalan-jalan ke Gunung Padang. Nakin ku ingat nurbaya, maki kuatir hatiku dan makin terasa pula olehku alpa dan lengahku, melepaskan dia seorang diri, kembali kedalam mulut harimau itu. Terkadang-kadang khawatir hatiku itu menimbulkan perasaan, sebagai benar Nurbaya mendapat celaka.”
“Ah, masakan begitu! Tak berapa lama lagi, tentulah ia di sini. Jika tada, baik kau jemput saja; perkaranya tentulah selesai,” jawab Arifin.
“Maksudku demikian juga. Kalau hari Sabtu yang akan datang ini belum juga sampai kemari, tentulah akan kujemput sendiri ke Padang.”
Dengan bercakap-cakap demikian, tibalah kedua mereka di rumah Sekolah Dokter Jawa, lalu terus menuju bilik masing-masing. Sejurus kemudian daripada itu, datanglahseorang opas pos membawa dua helai surat kawat, untuk Syamsul Bahri. Ditanyakannya kepada Arifin, di mana Syamsul Bahri, lalu ditunjukan oleh Arifin bilik sahabatnya ini.
“Tatkala Arifin, setengah jam setelah itu, pergi ke bilik Samsu, hendak menanyakan surat kawat apakah yang ditarimanya tadi sua dekali, kelihatan olehnya pintu dan jendela bilik itu telah tertutup. Pada sangkanya, Samsu tentulah telah tidur, untuk melepaskan kantuknya, karena kurang tidur semalam. Oleh sebab ia tiada hendak mengganggu sahabatnya itu, ditunggunyalah sampai Samsu bangun kembali.
“Maksud Samsu sebelum menerima kedua surat kawat tadi, sesungguhnya hendak pergi tidur; jendelanya pun telah ditutupnya. Setelah diterimanya surat itu, ditutupnyalah pula pintunya, karena hendak membaca kabar itu seorang diri; lebih-lebih, karena kedua surat kawat itu sangat memberi khawatir hatinya.
“Dari siapakah kabar kawat ini, dan bagaimanakah bunyinya?” katanya dalam hati.” O, barangkali dari Nurbaya, memberitahu ia akan datang kemari.
“Tetapi yang sebuah lagi, dari siapa pula?” Demikianlah pertanyaan yang timbul dalam hatinya.
Sambil berpikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat kawat itu dengan tangan yang gemetar. Setelah dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia pingsan, tiada kabar darinya, sebab kedua surat itulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Berapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah diketahuinya. Ketika ia sadarkan dirinya pula, adalah halnya seperti seorang yang gila, tak dapat berpikir dan berkata-kata. Menangis pun tiada kuasa, sebagai tak berair lagi matanya. Sesudah termenung sejurus lamanya, diambilnya kertas, dan kalam, lalu ditulisnya sepucuk surat kepada ayahnya.
Dikutip dari Novel Siti Nurbaya hal 215 – 217,

Analisis Unsur Intrinsik Novel Siti Nurbaya
1. Tokoh  dan Penokohan

•    Samsul Bahri sebagai pelaku utama (Tokoh Protagonis): anak Sultan Mahmud Syah (penghulu di Padang), wataknya: Orangnya pandai, tingkah lakuya sopan dan santun, halus budibahasanya, dapat dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
•    Siti Nurbaya sebagai pelaku utama (Tokoh Protagonis): anak Bginda Sulaeman (saudagar kaya di Padang), wataknya: Lemah lembut, penyayang, tutur bahasanya halus, sopan dan santun, baik hati, setia kawan, patuh terhadap orang tua.
•    Datuk Maringgih sebagai pelaku utama (Tokoh Antagonis), laki-laki yang berwatak kikir, picik, penghasud, kejam, sombong, bengis, mata keranjang, penipu, dan selalu memaksakan kehendaknya sendiri.
•    Sultan Mahmud Syah sebagai pelaku tambahan (Toloh Protagonis), Ayahnya Samsul Bahri yang berwatak: Bijaksana, sopan, ramah, adil, penyayang.
•    Siti Maryam sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), berwatak: Bijaksana, sopan, ramah, adil, penyayang.
•    Baiginda Sulaeman sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), berwatak: Bijaksana,sopan, ramah, adil, penyayang.
•    Zainularifin sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), temannya Samsul Bahri yang berwatak: Tingkah lakunya sopan dan santun, halus budi bahasanya, dapat dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
•    Bakhtiar sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), temannya Samsul Bahri yang berwatak: Tingkahlakunya sopan dan santun, halus budibahasanya, dapat dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
•    Alimah sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), saudaranya Siti Nurbaya, yang bewatak lemah lembut, santun setiakawan, bijaksana.
•    Pak Ali sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis).
•    Pendekar Tiga sebagai pelaku tambahan (Tokoh Antagonis)
•    Pendekar Empat sebagai pelaku tambahan (Tokoh Antagonis)
•    Penekar Lima sebagai pelaku tambahan (Tokoh Antagonis)
•    Dokter sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis)

2. Tema
Novel “ Siti Nurbaya” ini bertemakan sosial, moral, dan egois. Tema yang terkandung dalam novel ini yaitu; “Satu percintaan antara dua remaja yang tidak dapat berakhir dengan pernikahan karena penghianatan seseorang yang hanya mementingkan kekayaan dunia dan hawa nafsu.

3. Amanat
Amanat yang terkandung dalan novel “Siti Nurbaya” yaitu diantaranya adalah sebagai berikut :
•    Kita hendaknya jangan terlalu di kuasai oleh perasan dengan tidak mempergunakan pikiran yang sehat karena akan berakibat hilangnya keperibadian yang ada pada diri kita.
•    Jika hendak memutuskan sesuatu hendaklah pikirkan masak-masak lebih dulu agar kelak tidak menyesal.
•    Siapa yang berbuat jahat tentu akan mendapat balasan kelak sebagai akibat dari perbuatan itu.

4. Latar atau Seting
Latar atau Seting ini terdiri atas dua bagian yaitu : latar waktu dan latar tempat. Latar tempat dalam novel “Siti Nirbaya” diantaranya: di sekolah, di kota Padang,di kota Jakarta, di Kebun Kelapa, di rumah, di halaman rumah, di kantor pos. Latar waktu: sekitar tahun 1920-an.

5. Plot/Alur
Dari segi penysunan peristiwa atau bagian-bagian yang membentuk, cerita dari novel “Siti Nurbaya” menggunakan plot kronologis atau progresif, yang lebih dikenal dengan Alur Maju. Jadi cerita novel “Siti Nurbaya” ini ceritanya benar-benar dimulai dari eksposisi, komplikasi, klimaks, dan berakhir dengan pemecahan masalah. Pengarang menyajikan ceritanya secara terurut atau secara alamiah. Artinya urutan waktu yang urut dari peristiwa A,B,C,D dan seterusnya.

6. Sudut Pandang
Sudut pandang yag digunakan oleh pengarang movel “Siti Nurbaya” ini yaitu sudut pandang diaan-mahatahu. Pengarang berada di luar cerita hanya menjadi seorang pengamat yang maha tahu dan bahkan mampu berdialog langsung dengan pembaca.

7.  Gaya Penulisan

Gaya penulisan yang di gunakan masih menggunakan gaya bahasa dan sastra lama yang menggunakan ejaan tempo dulu, sehingga mengharuskan adanya pemahaman yang lebih dalam agar makna dalam novel tersebut dapat dipahami.



Read More

Sinopsis Novel Sengsara Membawa Nikmat



 Sinopsis Novel Sengsara Membawa Nikmat
SINOPSIS NOVEL SENGSARA MEMBAWA NIKMAT

Identitas Novel
Judul           : Sengsara Membawa Nikmat
Pengarang   : Tulis Sutan Sati
Penerbit      : Balai Pustaka
Cetakan      : 1929
Tebal Buku : 192 Halaman

Seorang pemuda bernama Kacak, karena merasa Mamaknya adalah seorang Kepala Desa yang dikuti, selalu bertingkah angkuh dan sombong. Dia suka ingin menang sendiri. Kacak paling tidak senang melihat orang bahagia atau yang melebihi dirinya. Kacak kurang disukai orang-orang kampungnya karena sifatnya yang demikian. Beda dengan Midun, walaupun anak orang miskin, namun sangat disukai oleh orang-orang kampungnya. Sebab Midun mempunyai perangai yang baik, sopan, taat agama, ramah serta pintar silat. Midun tidak sombong seperti Kacak.
Karena Midun banyak disukai orang, maka Kacak begitu iri dan dengki pada Midun. Kacak sangat benci pada Midun. Sering dia mencari kesempatan untuk bisa mencelakakan Midun, namun tidak pernah berhasil. Dia sering mencari gara-gara agar Midun marah padanya, namun Midun tak pernah mau menanggapinya. Midun selalu menghindar ketika diajak Kacak untuk berkelahi. Midun bukan takut kalah dalam berkelahi dengan Kacak, karena dia tidak senang berkelahi saja. Ilmu silat yang dia miliki dari hasil belajarnya pada Haji Abbas bukan untuk dipergunakan berkelahi dan mencari musuh tapi untuk membela diri dan mencari teman.
Suatu hari istri Kacak terjatuh dalam sungai. Dia hampir lenyap dibawa arus. Untung waktu itu Midun sedang berada dekat tempat kejadian itu. Midun dengan sigap menolong istri Kacak itu. Istri Kacak selamat berkat pertolongan Midun. Kacak malah balik menuduh Midun bahwa Midun hendak memperkosa istrinya. Air susu dibalas dengan air tuba. Begitulah Kacak berterima kasih pada Midun. Waktu itu Midun menanggapi tantangan itu. Dalam perkelahian itu Midun yang menang. Karena kalah, Kacak menjadi semakin marah pada Midun. Kacak melaporkan semuanya pada Tuanku Laras. Kacak memfitnah Midun waktu itu, rupanya Tuanku Laras percaya dengan tuduhan Kacak itu. Midun mendapat hukuman dari Tuanku Laras.
Midun diganjar hukuman oleh Tuanku Laras, yaitu harus bekerja di rumah Tuanku Laras tanpa mendapat gaji. Sedangkan orang yang ditugaskan oleh Tuanku Laras untuk mengwasi Midun selama menjalani hukuman itu adalah Kacak. Mendapat tugas itu, Kacak demikian bahagia. Kacak memanfaatkan untuk menyiksa Midun. Hampir tiap hari Midun diperlakukan secara kasar. Pukulan dan tendangan Kacak hampir tiap hari menghantam Midun. Juga segala macam kata-kata hinaan dari Kacak tiap hari mampir di telinga Midun. Namun semua perlakuan itu Midun terima dengan penuh kepasrahan.
Walaupun Midun telah mendapat hukuman dari Mamaknya itu, namun Kacak rupanya belum puas juga. Dia belum puas sebab Midun masih dengan bebas berkeliaran di kampung utu. Dia tidak rela dan ikhlas kalau Midun masih berada di kampung itu. Kalau Midun masih berada di kampung mereka, itu berarti masih menjadi semacam penghalang utama bagi Kacak untuk bisa berbuat seenaknya di kampung itu. Untuk itulah dia hendak melenyapkan Midun dari kampung mereka untuk selama-lamanya.
Untuk melaksanakan niatnya itu, Kacak membayar beberapa orang pembunuh bayaran untuk melenyapkan Midun. Usaha untuk melenyapkan Midun itu mereka laksanakan ketika di kampung itu diadakan suatu perlombaan kuda. Sewaktu Midun dan Maun sedang membeli makanan di warung kopi di pinggir gelanggang pacuan kuda itu, orang-orang sewaan Kacak itu menyerang Midun dengan sebelah Midun pisau.
Tapi untung Midun berhasil mengelaknya. Namun perkelahian antar mereka tidak bisa dihindari. Maka terjadilah keributan di dalam acar pacuan kuda itu. Perkelahian itu berhenti ketika polisi datang. Midun dan Maun langsung ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.
Setelah diperiksa, Maun dibebaskan. Sedangkan Midun dinyatakan bersalah dan wajib mendekam dalam penjara. Mendengar kabar itu, waduuh betapa senangnya hati Kacak. Dengan Midun masuk penjara, maka dia bisa dengan bebas berbuat di kampung itu tanpa ada orang yang berani menjadi penghalangnya.
Selama di penjara itu, Midun mengalami berbagai siksaan. Dia di siksa oleh Para sipir penjara ataupun oleh Para tahanan yang ada dalam penjara itu. Para tahanan itu baru tidak berani mengganggu Midun ketika Midun suatu hari ber¬hasil mengalahkan si jago Para tahanan.
Karena yang paling dianggap jago oleh Para tahanan itu kalah, mereka kemudian pada takut dengan Midun. Midun sejak itu sangat dihormati oleh para tahanan lainnya. Midun menjadi sahabat mereka.
Suatu hari, ketika Midun sedang bertugas menyapu jalan, Midun Melihat seorang wanita cantik sedang duduk duduk melamun di bawah pohon kenari. Ketika gadis itu pergi, ternyata kalung yang dikenakan gadis itu tertinggal di bawah pohon itu. Kalung itu kemudian dikembalikan oleh Midun ke rumah si gadis. Betapa senang hati gadis itu. Gadis itu sampai jatuh hati sama Midun. Midun juga temyata jatuh hati juga sama si gadis. Nama gadis itu adalah Halimah.
Setelah pertemuan itu, mereka berdua saling bertemu dekat jalan dulu itu. Mereka saling cerita pengalaman hidup, Halimah bercerita bahwa dia tinggal dengan seorang ayah tiri. Dia merasa tidak bebas tinggal dengan ayah tirinya. Dia hendak pergi dari rumah. Dia sangat mengharapkan suatu saat dia bisa tinggal dengan ayahnya yang waktu itu tinggal di Bogor.
Keluar dari penjara, Midun membawa lari Halimah dari rumah ayah tirinya itu. Usaha Midun itu dibantu oleh Pak Karto seorang sipir penjara yang baik hati. Midun membawa Halimah ke Bogor ke rumah orang tua Halimah.
Ayah Halimah orangnya baik. Dia sangat senang kalau Midun bersedia tinggal bersama mereka. Kurang lebih dua bulan Midun bersama ayah Halimah. Midun merasa tidak enak selama tinggal dengan keluarga Halimah itu hanya tinggal makan minum saja. Dia mulai hendak mencari penghasilan. Dia kemudian pergi ke Jakarta mencari kerja. Dalam Perjalanan ke Jakarta. Midun berkenalan dengan saudagar kaya keturunan arab. Nama saudagar ini sebenarnya seorang rentenir. Dengan tanpa pikiran yang jelek-jelek, Midun mau menerima uang pinjaman Syehk itu.
Sesuai dengan saran Syehk itu, Midun membuka usaha dagang di Jakarta. Usaha Midun makin lama makin besar.
Usahanya maju pesat. Melihat kemajuan usaha dagang yang dijalani Midun, rupanya membuat Syehk Abdullah Al-Hadramut iri hati. Dia menagih hutangnya Midun dengan jumlah yang jauh sekali dari jumlah pinjaman Midun. Tentu saja Midun tidak bersedia membayarnya dengan jumlah yang berlipat lipat itu. Setelah gagal mendesak Midun dengan cara demikian, rupanya Syehk menagih dengan cara lain. Dia bersedia uangnya tidak di¬bayar atau dianggap lunas, asal Midun bersedia menyerahkan Halimah untuk dia jadikan sebagai istrinya. Jelas tawaran itu membuat Midun marah besar pada Syehk . Halimah juga sangat marah pada Syehk.
Karena gagal lagi akhirnya Syehk mengajukan Midun ke meja hijau. Midun diadili dengan tuntutan hutang. Dalam persidangan itu Midun dinyatakan bersalah oleh pihak pengadilan. Midun masuk penjara lagi.
Di hari Midun bebas itu, Midun jalan jalan dulu ke Pasar Baru. Sampai di pasar itu, tiba tiba Midun melihat suatu keributan. Ada seorang pribumi sedang mengamuk menyerang seorang Sinyo Belanda. Tanpa pikir panjang Midun yang suka menolong_orang itu, langsung menyelamatkan Si Sinyo Belanda.itu. Sinyo Belanda itu sangat berterima kasih pada Midun yang telah menyelamatkan nyawanya itu.
Oleh Sinyo Belanda itu, Midun kemudian diperkenalkan kepada orang tua Sinyo itu. Orang tua Sinyo Belanda itu ternyata seorang Kepala Komisaris, yang dikenal sebagai Tuan Hoofdcommissaris. Sebagai ucapan terima kasihnya pada Midun yang telah menyelamatkan anaknya itu, Midun langsung diberinya pekerjaan. Pekerjaan Midun sebagai seorang juru Tulis.
Setelah mendapat pekerjaan itu, Midun pun melamar Halimah. Dan mereka pun menikah di Bogor di rumah orang tua Halimah.
Prestasi kerja Midun begitu baik di mata pimpinannya. Midun kemudian diangkat menjadi Kepala Mantri Polisi di Tanjung Priok. Dia langsung ditu¬gaskan menumpas para penyeludup di Medan. Selama di Medan itu, Midun, bertemu dengan adiknya, yaitu Manjau. Manjau bercerita banyak tentang kampung halamannya. Midun begitu sedih rnendengar kabar keluarganya di kampung yang hidup menderita. Oleh karena itu ketika dia pulang ke Jakarta, Midun langsung minta ditugaskan di Kampung halamannya. Permintaan Midun itu dipenuhi oleh pimpinannya.
Kepulangan Midun ke kampung halamannya itu membuat Kacak sangat gelisah. Kacak waktu itu sudah menjadi penghulu di kampung rnereka. Kacak menjadi gelisah sebab dia takut perbuatannya yang telah menggelap¬kan kas negara itu akan terbongkar. Dan dia yakin Midun akan berhasil rnembongkar perbuatan jeleknya itu. Tidak, lama kemudian, memang Kacak ditangkap. Dia terbukti telah menggelapkan uang kas negara yang ada di desa mereka. Akibatnya Kacak masuk penjara atas perbuatannva itu.
Sedangkan Midun hidup berbahagia bersama istri dan seluruh keluarga¬nya di kampung.

Analisis Instrinsik Novel Sengsara Membawa Nikmat

Tema : Kesabaran seseorang dalam menerima penderitaan
Tokoh dan Penokohan :
1. Midun adalah seorang pemuda berbudi, sopan, taat pada agama, serta penyabar.
2. Tuanku Laras adalah seorang Kepala Kampung yang sangat kaya. Dia sangat ditakuti dan disegani dikampungnya.
3. Kacak adalah seorang pemuda yang mempunyai sifat dan tingkah laku kurang baik. Dia angkuh, kasar, serta suka berpoya-poya.
4. Haji Abbas adalah seorang penghulu dan guru ngaji serta guru silat.
5. Maun adalah seorang pemuda berbudi, sopan, serta taat kepada ajaran agama. Dia sahabat kental Midun.
6. Halimah adalah seorang gadis yatim. Dia tinggal dengan ayah tirinya yang kaya raya. Dia termasuk perempuan berbudi dan taat pada agama.
7. Pak Karto adalah seorang sipir penjara tempat Midun sewaktu dipenjara di Jakarta. Dia mempunyai hati yang baik.
8. Syekh Abdullah Al-Hadramut adalah saudagar kaya keturunan Arab. Hatinya kurang baik. Dia terkenal sebagai seorang rentenir.
9. Tuan Hoofdcommissaris adalah seorang kompeni dengan jabatan sebagai Kepala Komisaris. Dia mempunyai hati yang baik.
10. Manjau adalah pemuda baik-baik, adik kandung Midun.

Alur : Maju
Latar : Latar tempat
a. Padang (Minangkabau)
b. Bogor
c. Jakarta


Amanat : - Bersabarlah dalam menjalani kehidupan karena tak ada kehidupan yang tanpa ujian atau cobaan, dan percayalah bahwa dibalik cobaan dan ujian yang datang pasti ada hikmah yang tersembunyi.
- Pandai-pandailah mengemudikan hawa nafsu. Hawa nafsu tak ada batasnya dan hawa nafsu ini kerap kali menjerumuskan orang pada lembah kesengsaraan.

Sudut Pandang : Sudut pandang dalam Novel Sengsara Membawa Nikmat yaitu sudut pandang serba tahu.
Dalam tipe ini tentunya pengarang akan bertindak serba tahu. Pengarang mengetahui serba watak, keadaan, sifat hidup, dan sebagainya darai semua yang ada. Dari tingkah laku yang amat pribadi sampai kepada hal-hal yang jelas kelihatan dari setiap tokoh. Dari pikiran yang terselubung sampai kepada aktivitas konkret dapat diamati. Pendek kata, pengarang benar-benar berperan sebagai seorang dalang yang menciptakan bahkan menentukan segala yang ada. Pengarang tidak hanya tahu ciri-ciri lahir maupun isi hati semua tokoh dalam cerita yang dikarangnya, tetapi juga tahu tentang nasib yang akan dialami tokoh-tokoh itu.

Gaya Penulisan : Dalam penulisan Novel Sengsara Membawa Nikmat pengarang lebih banyak menggunakan bahasa melayu yang tidak lain yakni bahasa yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau.

Kutipan-Kutipan Dalam Novel Sengsara Membawa Nikmat

- Padamu kami harap jangan ada tabiat yang demikian. Hal itu semata-mata mencelakakan diri sendiri. Tidak ada yang selamat, binasa juga akhir kelaknya. Dari pada sahabat kenalan kita pun terjatuh pula. Contohnya ilmu padi, kian berisi kian runduk. Begitulah yang kami sukai dalam pergaulan bersama. Satupun ada faedahnya memegahkan diri, hendak memperlihatkan pandai begini, tahu begitu. Asal tidak akan merusakkan kesopanan diri, dalam percakapan atau tingkah laku, lebih baik merendah saja. Bukanlah hal itu menghabiskan waktu saja. Pergunakanlah waktu itu bagi yang mendatangkan keselamatan dan keuntungan dirimu.
- Berani, karena benar. Takut karena salah. Akuilah kesalahan itu, jika sebenarnya bersalah. Tetapi perlihatkan keberanian, akan menunjukkan kebenaran. Anak muda biasanya lekas naik darah. Hal itu seboleh-bolehnya ditahan. Dalam segala hal hendaklah berlaku sabar. Apalagi kalau ditimpa malapetaka, haruslah diterima dengan tulus ikhlas, tetapi bilamana perlu janganlah undur barang setapak jua pun.
- Begitu pulanya dengan hawa nafsu. Hawa nafsu itu tak ada batasnya. Dialah yang kerapkali menjerumuskan orang ke dalam lembah kesengsaraan. Jika tak pandai mengemudikan hawa nafsu, alamat badan akan binasa. Jika diturutkan hawa nafsu, mau ia sampai ke langit yang ke delapan–jika ada langit yang ke delapan. Oleh karena itu biasakan diri memandang ke bawah, jangan selalu ke atas. Hendaklah pandai-pandai memegang kendali hawa nafsu, supaya selamat diri hidup di dunia ini. Pikir itu pelita hati. Karena itu pekerjaan yang hendak dilakukan, pikirkan dalam-dalam, timbang dahulu baik buruknya.
- Lihat-lihat kawan seiiring, kata orang. Dalam pergaulan hidup hendaknya ingat-ingat. Jauhi segala percederaan. Bercampur dengan orang alim. Tak dapat tiada kita alim pula. Bergaul dengan pemaling, sekurang-kurangnya jadi ajar. Sebab itu pandai-pandai mencari sahabat kenalan. Jangan dengan sebarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang membinasakan kita. Daripada bersahabat dengan seribu orang bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai.
- “Memang engkau musuhku, jahanam!” ujar Kacak dengan bengis.” Engkaulah yang menghasut orang benci kepadaku. Engkau hendak jadi raja di kampung ini, binatang!”
- Midun berkata, “Sabarlah Ibu, jangan menangis juga. Ini baru siksaan dunia yang hamba rasai, di akhirat nanti entah lebih daripada ini penanggungan kita. Bukankah tiap-tiap sesuatu itu telah takdir Tuhan, Ibu! Jadi apa yang terjadi halnya dengan mengumpat Tuhan jua.
- Bukankah sudah saya katakan, bahwa saya siap akan menolong Uni bilamana perlu. Jangankan ke tanah Jawa, ke laut api sekalipun saya turut.
- “Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh terjadi, “ujar Midun tiba-tiba.” Susahnya yang sebagai Ponggok merindukan bulan. Badan loyang disangka emas.”
Kayu rukam jangan dikelam,
Kemuning tua dikerat-kerat.
Jika hitam, banyak yang hitam,
Yang kuning jua membawa larat.
- Rasakan hendak dijahitnya bibirnya, karena terdorong itu.
- Muka Halimah merah padam mendengar perkataan Midun yang amat dalam pengertiannya itu.
- Biar bagaimana pipit itu akan tinggal pipit jua. Mudah-mudahan yang di cita datang yang dimaksud sampai.
- Rupanya saya bagi ayah, buah hati pengarang jantung, timbangan nyawa, semangat badan.
- Hidup ini sebagai roda, Udo! Sekali naik, sekali turun, tiap-tiap kesenangan mesti ada kesusahan.
- Memang demikianlah kehendak Tuhan dan kemauan alam. Tidak boleh kita menyesali, karena sudah nasib sejak di rahim bunda kandung.
- Bukanlah perkataan yang lemah lembut itu anak kunci hati segala manusia.
- Midun kena sihir, tepat benar kenanya. Perjalanan darahnya sekonyong-konyong berubah. Hatinya kembang kempis, darah Midun berdebar, tetapi ia tidak dapat berkata-kata.
Pisang emas bawa belayar,
masak sebiji di atas peti.
Utang mas boleh dibayar,
utang budi dibawa mati.

Pulau Pandan jauh di tengah,
Di balik pulau Angsa Dua.
Hancur badan di kandung tanah,
Busi baik terkenang jua.
- Kiranya tidaklah demikian, bahkan bertambah pula dengan makan hati berulam jantung. Bermacam-macam penanggungan yang telah kita rasai, disebabkan untuk nasib kita yang celaka jua.
- Apa boleh buat. Halimah! Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak guna.
- Mulut bapak tirimu yang manis dan perbuatannya yang baik itu, rupanya berudang di balik batu.
- Mendengar perkataan itu janganlah hati senang, melainkan sebagai tercocok duri jantung saya.
- Saya berdiam diri saja seperti patung, mendengar kata-katanya itu.
- Mukanya merah, urat keningnya membengkak mendengar perkataan saya yang pedas itu.
- Kiranya saya pergi ke rumahnya itu masuk jerat semat-mata; dan tidaklah salah rasanya bila dikatakan, hal saya waktu itu adalah seperti lepas dari mulut harimau jatuh ke dalam mulut buaya.
- Rambutnya ikal sebagai awan berarak. Mukanya bulat bulan penuh. Matanya laksana bintang timur bersanding dua, dan hidungnya bagai dasun tunggal. Pipinya seperti pauh dilayang, bibirnya lamau seulas, mulutnya delima merekah.
- “Mudah-mudahan dapatlah sebagai yang Udo cita-citakan itu. Jika untung, ikan di laut asam digunung, lamun akan bertemu takkan dapat disangkal.
- Halimah pura-pura melayangkan pemandangannya ke laut lepas, melihat ombak tanjung cina yang segunung-gunung tingginya itu.
- Segala perasaannya pada Halimah, disimpannya dalam peti wasiat di sanubarinya.
- Mendengar perkataan Syekh Abdullah demikian itu, naiklah darah Midun.
- Ia mau terkurung selama hidupnya, asal jangan karena dia Halimah terserah kepada orang Arab mata keranjang itu




Read More