Sabtu, 06 September 2014

Sinopsis Novel Salah Asuhan - Abdul Moeis


Sinopsis Novel Salah Asuhan

A. Sinopsis Dari Novel Salah Asuhan Yang Dikarang Oleh Abdul Moeis
Salah Asuhan
Corrie de Bussee, gadis Indo-Belanda yang cantik, lincah dan menjadi dambaan setiap pria yang mengenalnya. Corrie berteman dengan Hanafi dari sejak kecil. Hanafi sendiri adalah laki-laki muda asli Minangkabau, berpendidikan tinggi dan berpandangan kebarat-baratan. Bahkan cenderung memandang rendah bangsanya sendiri. Karena selalu bersama-sama akhirnya mereka satu sama lain saling mencintai. Tapi cinta mereka itu tidak dapat disatukan karena perbedaan bangsa, jika orang Bumiputera menikah dengan keturunan Belanda maka tidak diperbolehkan, yang akhirnya apabila kejadian sampai menikah mereka akan dijauhi oleh para keluarganya dan orang lain. Corrie pun akhirnya pergi yang tadinya tinggal di Minangkabau menjadi di Betawi. Perpindahan itu sengaja ia lakukan untuk menghindar dari Hanafi dan meneruskan sekolahnya di sana.
Akhirnya ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah. Rapiah adalah sepupu Hanafi, gadis Minangkabau sederhana yang berperangai halus, taat pada tradisi dan adat sukunya. Ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah yaitu untuk membalas budi pada ayah Rapiah yaitu Sutan Batuah yang telah membantu membiayai sekolah Hanafi. Tapi Hanafi awalnya tidak mau karena cintanya hanya untuk Corrie saja. Tapi akhirnya dengan bujukan ibunya walaupun terpaksa ia menikah juga dengan Rapiah. Karena Rapiah tidak Hanafi cintai keberadaan Rapiah pun di rumah hanya diperlakukan seperti babu, mungkin Hanafi juga menganggap bahwa Rapiah itu seperti tidak ada apabila banyak temannya orang Belanda yang datang ke rumahnya. Hanafi dan Rapiah dikarunia seorang anak laki-laki yaitu Syafei.
Suatu hari Hanafi digigit anjing gila, maka dia harus berobat ke Betawi agar sembuh. Di Betawi Hanafi dipertemukan kembali dengan Corrie. Di Betawi, Hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim surat pada ibunya bahwa dia menceraikan Rapiah. Ibu Hanafi dan Rapiah pun sangat sedih tetapi walaupun Hanafi seperti itu Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal dengan Ibu Hanafi. Perkawinannya dengan Corrie ternyata tidak bahagia, sampai-sampai Corrie dituduh suka melayani laki-laki lain oleh Hanafi. Akhirnya Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju Semarang. Corrie sakit Kholera dan meninggal dunia. Hanafi sangat menyesal telah menyakiti hati Corrie dan sangat sedih atas kematian Corrie, Hanafi pun pulang kembali ke kampung halamannya dan menemui ibunya, Hanafi pekerjaannya hanya termenung saja dan tidak terlalu bergairah. Hanafi sakit, kata dokter dia minum sublimat dan akhirnya dia meninggal dunia.

B. Kutipan Bagian yang Menarik

1. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian I yaitu Dua orang Sahabat
"Itu benar, Han ! Tapi pada segala pekerjaan ada batasnya. Maka adalah pekerjaan atau perbuatan yang luar biasa, yang tiada galib dilakukan orang, sedang pekerjaan yang disangka tidak mengganggu kesenangan orang lain itu pun boleh jadi akan melanggar peri kesopanan."
"Kesopanan ? Apakah perbuatan kita, duduk berhadapan antara satu meter jaraknya, dibatasi oleh meja teh, di tempat terang dan pada waktu yang lazim dipergunakan orang buat berkunjung-kunjungan, boleh dikatakan melanggar peri kesopanan ?"
"Tidak, hanya … engkau bujang, aku gadis, sesama manusia kita telah menetapkan pelbagai undang-undang yang tidak tersurat, tapi yang harus diturut oleh sekalian manusia dengan tertib, kalau ia hendak hidup aman di dalam pergaulan orang, yang memakai undang-undang itu."
"Ah, undang-undang itu, di manakah batasnya ? Bangsamu, bangsa Eropa, amat melonggarkan pergaulan laki-laki dengan perempuan, Nyonya yang bersuami sudah galib dibawa-bawa dan dikepit oleh seorang tuan lain, dengan tidak ada undang-undang tersurat atau tidak tersurat yang melarangnya. Itu tentang pergaulan. Ambillah pula contoh yang lain. Di tanah Arab perempuan menutup badan sampai ke muka-muka, tapi di tanah Amerika banyak benar kota-kota ramai di pantai laut, tempat nyonya dan tuan-tuan berkeliaran saja memakai baju renang, sampai ke rumah-rumah minum. Tetapi lihatlah pula setengah bangsa Barat—jika nyonya rumah berani turun tanah memakai baju piyama, yang nyata lebih menutup kulit dari pakaian dansa maka nyonya yang berpakaian piyama turun ke tanah itu akan disebutkan 'melanggar adat sopan santun'. Jadi bagiku, sungguhlah gelap batas undang-undang kesopanan itu—sebab ia tidak tersurat."
"Hanafi ! Engkau juga yang mulai memperbincangkan tentang adat lembaga serta tertib kesopanan masing-masing bangsa; engkau pun juga yang tak suka mengindahkan atau mengakui adanya perbedaan adat lembaga antara bangsa dengan bangsa. Setiap kita bertukar pikiran tentang hal itu, pada akhirnya engkau senantiasa berkecil hati seolah-olah malulah engkau, bahwa engkau masuk golongan Bumiputera, yang kau sangka bahwa aku menghinakannya. Bahwa sesungguhnya kulitku berwarna pula, ibuku perempuan Bumiputera sejati, meskipun diriku masuk pada golongan bangsa Eropa. Dan sementara … fasal hina-menghina Bumiputera lebih banyak terdengar dari mulutmu sendiri daripada dari mulutku. Kita akan memperkatakan …"
"Aku tahu betul, bahwa aku hanyalah Bumiputera saja, Corrie ! Janganlah kau ulang-ulang juga."
"Hanafi, Hanafi ! Hari ini fiilmu sangat pula susahnya. Kalau sifat dan hatimu kurang-kurang kukenal, niscaya akan boleh timbul salah persangkaan atas dirimu. Jadi fiil tabiatmu sudah jelas benar bagiku. Tenangkanlah dahulu darahmu; dengarkan baik-baik. Kita akan memperkatakan hal adat lembaga masing-masing yang digalihkan atau hendak diubah oleh bangsa-bangsa lain di luar kita, karena di negeri mereka masing-masing perkara itu memang sedang menjadi buah perselisihan. Apakah gunanya kita turut-turut memusingkan kepala ? Aku tahu buat diriku sendiri, meskipun esok atau lusa di kota Solok ini sudah lazim berjalan berkeliaran memakai baju renang, aku sendiri tidak akan menyertai arus 'mode' yang serupa itu. Tidak, Hanafi –yang menjadi pertikaian tutur bagi kita ialah hal adat lembaga sesuatu bangsa di dalam pergaulannya'. Dalam pergaulan bangsaku, bangsa Eropa, sungguh longgarlah pergaulan antara laki-laki dengan perempuan, sebagai kaukatakan tadi. Tapi sebab sudah 'galib', tidaklah akan cepat orang berbuat fitnah atau menyangka buruk, apabila kelihatan laki-laki bergaul dengan perempuan lain, yang bukan ahli karibnya. Tetapi dalam pergaulan bangsamu, apabila di tanah Sumatra ini, lain keadaannya. Jangankan dengan perempuan lain, dengan ahlinya yang paling karib, sekalipun dengan adik atau kakaknya sendiri, sudah disebut janggal, apabila ia bergaul atau duduk bersenda gurau, bahkan berjalan berdua-dua.

2. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian II yaitu Ayah dan Anak
"Kawin campuran itu sesunguhnya banyak benar rintangannya, yang ditimbulkan oleh manusia juga Corrie ! Karena masing-masing manusia dihinggapi oleh suatu penyakit kesombongan bangsa. Sekalian orang, masing-masing dengan perasaannya sendiri, menyalahi akan bangsanya, yang menghubungkan hidup kepada bangsa yang lain, meskipun kedua orang menjadi suami-istri itu sangat berkasih-kasihan.
Tapi-asal kedua yang dikatakan "berkesalahan" itu sama-sama meneguhkan hatinya, tiadalah akan mengenai pada dirinya segala nista dan cerca orang lain itu. Lihat sajalah keadaanku dengan namamu. Bangsa dan kaum kerabatnya sekali-kali tidak suka ia hidup bersama dengan aku, pun bangsaku menyalahi benar akan perbuatanku itu. Tapi aku, demikian pula namamu, tiadalah kawin dengan orang banyak itu tidak pula kami bergantung kehidupan pada mereka sekalian. Jadi segala bantuan mereka tidaklah mengurangi kesenangan kami. Hanya jarang-jarang yang bertemu demikian, Corrie!"
"Hal Papa dengan Mama, sungguh lain. Papa laki-laki orang Barat, Mama perempuan orang sini. Sesungguhnya Corrie tidaklah dapat memberi keterangan tentang hal itu, tapi Corrie berasa saja, bahwa lain benar keadaan hal pencampuran laki-laki Barat dan perempuan Timur dengan sebaliknya."
"Perbedaan itu sungguh ada, Corrie, dan sungguh besar sekali. Sebabnya tiada lain, karena penyakit "kesombongan bangsa" itu juga. Orang Barat datang ke mari, dengan pengetahuan dan perasaan, bahwa ialah yang dipertuan bagi orang sini. Jika ia datang ke negeri ini dengan tidak membawa nyonya sebangsa dengan dia, tidak dipandang terlalu hina, bila ia mengambil "nyai" dari sini. Jika "nyai" itu nanti beranak, pada pemandangan orang Barat itu sudahlah ia berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan darah di sini. Tapi lain sekali keadaannya pada pertimbangan orang Barat itu, kalau seseorang nyonya Barat sampai bersuami, bahkan beranak dengan orang sini. Terlebih dahulu nyonya itu dipandang seolah-olah sudah menghinakan dirinya sebagai bangsa Barat; dan dikatakan sudah "membuang diri kepada orang sini. Di dalam undang-undang negeri ia pun segera dikeluarkan dari hak orang Eropa. Itu saja sudah tidak dengan sepatutnya, istimewa pula bila diketahui, bahwa seorang bangsa Bumiputra yang minta dipersamakan haknya dengan Eropa selama-lamanya tidak boleh menghilangkan lagi hak itu dan kembali menjadi Bumiputra pula, karena tidaklah ada sesuatu fasal di dalam undang-undang yang boleh menggugurkan haknya sebagai orang Eropa. Tapi seseorang perempuan bangsa Eropa yang kawin dengan orang Bumiputra, selama ditangan suaminya itu akan kehilangan haknya sebagai orang Eropa. Terlebih hina kedudukannya di dalam pergaulan bangsa Eropa sendiri, jika nyonya itu sampai beranak, dipandang bahwa ia turut mengurangi derajat bangsa Eropa. Terasalah olehmu, Corrie, perbedaan antara kedua perkawinan itu ?"

3. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian III yaitu Ibu dan Anak
"Ingatlah, Anakku! Harapkan burung terbang tinggi, punai tangan engkau lepaskan. Tidak akan aman hidupmu, bila makanan enggang dan bunga larangan yang engkau kehendaki. Sesayang-sayangnya pada engkau, kaum keluargamu tentu tidak akan dibawanya duduk bersama-sama. Yang hendak ibu berikan buat gantinya, ialah anak ibu sendiri yang akan insyaf betul bahwa ia kelak akan menumpangkan diri padamu. Sedang yang engkau kehendaki ialah orang yang akan menaruh keyakinan, bahwa ia sudah membuang diri buat menurutkan kamu. Orang itu berasa berpemberian yang sebesar-besarnya kepadamu, yang harus kau junjung tinggi. Lebih dahulu engkau dipandangnya ada berutang budi kepadanya, yang tidak ternilai besarnya. Tapi yang ibu sediakan bagimu, ialah yang akan berasa sendiri ada berutang budi kepadamu. Tidaklah ia berasa, bahwa dirinya sudah diperganduh-ganduhkan buat membayar utangmu pada ayahnya, karena secara adat Minangkabau yang diketahuinya ialah engkau yang harus menerima pusaka ayahnya, dan bukanlah dia, yang akan diketahuinya pula ialah bahwa engkau sudah menunjukkan murah hatimu, suka menerima dia yang bodoh serta hina menjadi istrinya. Pada hemat ibu, hanya perkawinan yang secara itulah yang akan menyenangkan hidupmu, teristimewa karena ketinggian hatimu. Pantang kelintasan, pantang ketindihan oleh kata. Asal engkau pandai membalas budi dengan budi, selamatlah engkau seumur hidupmu. Setiap hari engkau berkata bahwa ibumu orang kampung, orang bodoh, tapi timbang-timbanglah segala kata-kata ibu dengan hati yang jernih, pikiran yang tenang, uji-ujilah salah-benarnya."

4. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian VIII yaitu Istri Pemberian Ibu
Dua tahun sudah berjalan, setelah jadi perundingan Hanafi dengan ibunya tentang beristri itu. Sebelum ia membenarkan kata ibunya, ia pun sudah dinikahkan dengan Rapiah.
Di dalam peralatan itu hampir-hampir pernikahan dibatalkan, karena timbul perselisihan antara pihak kaum perempuan dengan kaum laki-laki.
Pangkalnya dari Hanafi juga. Ia berkata "kaum muda", yaitu pakaian secara zaman dahulu, disebutkan "anak komidi Stambul". Jika ia dipaksa memakai secara itu, sukalah ia urung saja, demikian katanya dengan pendek. Setelah timbul pertengkaran di dalam keluarga pihaknya sendiri akhirnya diterimalah, bahwa ia memakai 'smoking' yaitu jas hitam, celana hitam dengan berompi dan berdasi putih. Tapi waktu hendak menutup kepalanya sudah beselisih pula. Dengan kekerasan ia menolak pakaian destar saluk, yaitu pakaian orang Minangkabau. Bertangisan sekalian perempuan, meminta supaya ia jangan menolak tanda Keminangkabauan yang satu itu, yaitu selama beralat saja. Jika peralatan sudah selesai, bolehlah ia memakai sekehendak hatinya pula.
Hanafi tetap menolak kehendak orang, ia tidak hendak menutup kepala, karena lebih gila pula dari komidi, bila memakai destar, saluk dengan baju smoking dan dasi.
Setelah ibunya sendiri hilang sabarnya dan memukul-mukul dada di muka anak yang 'terpelajar itu, barulah Hanafi menurutkan kehendak orang banyak, sambil mengeluh dan teringat akan badannya yang sudah … 'tergadai'.
Untunglah ia menurutkan hal menutup kepala itu, karena sekalian pengantar dan pasumandan (pengiring bangsa perempuan), sudah berkata bahwa mereka tak sudi mengiringkan 'mempelai didong'.
Dalam dua tahun hidup beristri itu, Rapiah dipandangnya sebagai seorang istri yang diberikan kepadanya. Segala kewajiban sebagai suami adalah diturutnya, demikian ia berkata, tapi akan batinnya Rapiah tidak berhak. Leif de, synpatie dan lain-lain lagi perkataan yang menyeramkan bulu tengkuk ibunya, tentu Rapiah tidak boleh mengharap daripadanya. Demikian pula tentang kemerdekaannya.

5. Kutipan bagian menarik dari judul bagian IX yaitu Durhaka kepada Ibu
Kemarahan Hanafi kepada anaknya, yang katanya sudah dimasuki setan dan kepada si Buyung yang masih belum datang, serta malunya kepada kawan-kawannya melihat istrinya datang, yang tidak ubah rupanya dengan hoki, kesemuanya sudah tertumpah ke atas kepala Rapiah.
Sambil merentakkan anak itu ke tangan ibunya, dikatainyalah istrinya di muka kawan-kawannya dengan segala nista dan penghinaan, hingga ketiga tamu itu menjadi resah dan tidak berketentuan rasa lagi.
Rapiah tunduk, tidak menyahut, hanya air matanya saja yang berhamburan. Syafei, dalam dukungan ibunya yang tadinya menangis keras, lalu mengganti tangisnya dengan beriba-iba. Seakan-akan tahulah anak kecil itu, bahwa ibunya yang tidak berdaya, sedang menempuh azab dunia dan menanggung aib di muka-muka orang.
Sedang Rapiah berjalan gontai menuju ke dapur sambil menundukkan kepala, seolah-olah sedang bertangis-tangisan dengan anaknya, si suami celaka masih mengiringkannya dengan kata-kata yang sudah tak layak didengar lagi.
Pada waktu itu Ibu Hanafi sedang di tengah rumah pula, jadi mendengar dan melihatlah ia apa yang sedang terjadi. Sesampainya ke dapur pula, lalu dipeluk dan ditangisinyalah menantu dan cucunya yang malang itu. Maka ketika itu di dalam dapur tiadalah lain yang terdengar, hanyalah keluh kesah dan tangis ketiga mereka itu saja.

6. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian XII yaitu istri pemberian ibunya
"Jangan kau sebut jual hal ke Betawi itu, Piah. Memang sebaik-baiknya kami bercerai-berai, sia-sia jualah bila berkumpul-kumpul. Bagaimana akan dapat minyak dibaurkan dengan air ? Memang ia anak yang kukandung, kulahirkan sendri! Darah dagingku sendiri, Piah ! Tapi apa boleh buat ! Entah karena salah asuhan entah karena salah campuran, tapi anak itu sangat mengasingkan hidupnya. Berlain pemandangannya dengan kita, berlain pendapatnya, berlain perasaannya. Ya – Piah ! Tak dapatlah ibu menyangkakan kepecahan telur sebutir hal kehilangan anak itu, karena ia hanya seorang itu saja dan tidak pula berayah. Yang kandung benar saudara ibu, hanyalah ayahmu, seibu sebapa dengan ibu, Piah, itulah sebabnya maka ibu berkeras menahan engkau. Ibu seperuntungan dengan ayahmu sama-sama tunggal, karena turunan kita memang jarang.

7. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian XIX yaitu Mertua dan Menantu
"Kepada ibu pastilah engkau tidak akan durhaka, karena didalam sesuatu hal ibu akan membenarkan saja segala sesuatu yang hendak engkau lakukan, teristimewa pula didalam hal ini. Hanya ayahmu tentu tidak akan ijin, jadi nyatalah engkau akan melakukan sesuatu buatan yang tidak direlakan ayahmu. Durhaka kepada ayah dan ibu itu berat benar tanggungannya, Piah, Berat buat di dunia, berat pula buat di akhirat."

8. Kutipan bagian menarik dari cerita bagian XXI yaitu Tali Percintaan
Tahulah Hanafi sekarang; Rapiah, intan yang belum digosok. Sayang, ia tak pandai menggosoknya hingga barang yang berharga itu dibuang-buang, disangkanya tidak berharga.
Corrie berlian yang sudah digosok, harganya tidak ternilai-nilai, tapi si suami yang celaka tak pandai memakainya dan enyahlah harta itu dari kandungannya. Hanafi menyesali dirinya tidak berhingga-hingga.

9. Kutipan yang menarik dari cerita bagian XXIV yaitu di Jalan Hendak Pulang
"Tuan Han, bagi Tuan amat melarat, jika berkata-kata panjang. Baiklah Tuan mendengarkan saja apa yang hendak saya tuturkan, sebagai dokter dan sebagai manusia. Kita berhadapan sebagai orang yang sama-sama terpelajar, sopan, muda dan sudah tentu sama-sama pula mengetahui dan menderita akan arti cinta. Dengarlah ! sepanjang pendapat saja, cinta itu akan berbukti benar, bila yang menaruhnya tahu menaruh sabar, tahu menegakkan kepalanya di dalam segala rupa bahaya serta rintangannya. Cinta itu tahu memberi korban, jika perlu.

C. Unsur Instrinsik dari Novel Salah Asuhan

1. Tema
Adapun tema yang terkandung dalam novel Salah Asuhan karangan Abdoel Moeis adalah adat istiadat.

2. Amanat
Adapun amanat yang terkandung dalam novel Salah Asuhan adalah :
1) Janganlah melupakan adat istiadat negeri sendiri, jikalau ada adat istiadat dari bangsa lain, boleh saja kita menerima tapi harus pandai memilih, yaitu pilihlah adat yang layak dan baik kita terima di negeri kita.
2) Jangan memaksakan suatu pernikahan yang tidak pernah diinginkan oleh pengantin tersebut, karena akhirnya akan saling menyiksa keduanya.

3. Alur
Alur yang digunakan dalam novel Salah Asuhan adalah alur maju.

4. Tokoh
1) Hanafi, wataknya egois, keras kepala
2) Corrie, wataknya baik, mudah bergaul
3) Rapiah, wataknya sabar, lembut
4) Ibu Hanafi, wataknya sabar
5) Tuan Du Busse, wataknya tegas dan keras
6) Sutan Batuah, wataknya tegas dan keras
7) Syafei, wataknya berani
8) Si Buyung wataknya penurut

5. Latar
Latar atau tempat terjadinya yaitu :
1) Lapangan tenis di Minangkabau
2) Rumah Corrie dan rumah Hanafi di Minangkabau
3) Betawi
4) Semarang

6. Sudut Pandang
Dalam novel Salah Asuhan Abdoel Moeis ini, pengarang bertindak sebagai orang ketiga yaitu menceritakan kehidupan tokoh-tokoh pada novel tersebut.

7. Gaya Penulisan
Gaya penulisan dari novel ini apabila dilihat dari segi bahasa adalah bahasa Melayu dan ada juga diselipkan bahasa Belanda. Dalam penulisannya terdapat pantun dan sedikit pribahasa.



Terima kasih atas komentar sahabat...
Dimohon tidak meningggal link hidup / link aktif karena otomatis terhapus

EmoticonEmoticon